Senin, 09 Juni 2014

tugas antropologi psikologi dan psikiatri: ludruk sebagai sindrome gangguan jiwa



Tugas Antropologi Psikologi dan Psikiatri
Ludruk Sebagai
 Sindrome Gangguan Jiwa

Stress Budaya Pencetus Patologi

Awal terbentuknya culture bound syndrome, stress budaya dapat dialami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan tekanan-tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti sebuah kebudayaan yang melalui aturan-aturan serta sanksi-sanksinya membuat para penganutnya terikat kedalam dan tidak memungkinkan penganutnya untuk bertindak di luar form baku yang telah ditetapkan. Dalam menghadapi stress, individu selain mengerahkan pertahanan psikologis (psychological defenses), juga mengerahkan pertahanan budayanya (culture defenses) yaitu dalam bentuk “sistem kepercayaan”, dalam upaya adaptasinya. Misalnya, terbentuknya organisasi dari suku-budaya tertentu di kotakota besar atau timbulnya kelompok aliran agama dan kepercayaan baru, merupakan cara budaya untuk menolong individu yang mengalami konflik dan stress. Adanya kepercayaan dan ritual budaya untuk mengurangi ketegangan merupakan faktor penting dalam menentukan berapa besarnya stress budaya tersebut. Jelaslah bahwa berbagai budaya menyokong atau memperkuat berbagai corak psikopatologi dan menyediakan berbagai peranan untuk mengekspresikannya.
Sumber stress budaya dapat berupa:
  1. Perubahan budaya yang cepat dan penyakit kejiwaan kehilangan budaya lama, misalnya pada urbanisasi dan modernisasi, 
  2. Kontak dan interaksi antar budaya, misalnya kawin antar suku, agama, ataupun transmigrasi.
A. Jenis-jenis culture bound syndrome and Psychopathology yang ada di Indonesia
WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang sehat dan kurang sehat jiwa di antaranya selalu diliputi oleh suasana kekhawatiran dan kegelisahan. Kemudian, ia mudah marah karena hal-hal yang sepele dan menyerang orang lain karena kemarahannya. Permusuhan, kebencian, sukar memaafkan orang lain merupakan suatu penyakit kejiwaan. Begitupun ketika tidak mampu menghadapi kenyataan hidup, tidak realistik, karenanya ia sering lari dari kenyataan dengan cara selalu menyalahkan orang lain (proyeksi) walaupun sebenarnya sumber kesalahan adalah dirinya.
Tiga faktor utama yang menjadi pencetus gangguan jiwa, yaitu: 1. genetik (internal), 2. pola asuh dan pola didik yang kurang baik (salah) karena anak terlalu dimanja dan dikerasi (otoriter/diktator), 3. serta lingkungan sebagai stresor seperti yang dikatakan Hidayat dalam Arianto (2004) Adanya suatu tekanan (pressure) dari lingkungan hanya bisa diobservasi dari reaksi patologik dari pihak individu yang bersifat biologis dan psikologis. Jelas bahwa stressnya sendiri tidak menentukan (non-spesifik), melainkan reaksi terhadap stress tersebut merupakan faktor penentu bagi timbulnya gangguan jiwa seperti yang ijelaskan oleh Maslim (1987).
Seperti yang telah saya jelaskan diatas bahwa gangguan jiwa ini dapat berasal dari depresi akibat lingkungan sosio kultural dimana manusia tersebut tinggal. Sumber dari stress budaya seperti yang disebutkan Maslim (1987) dapat berupa: (1) perubahan budaya yang cepat dan kehilangan budaya lama, misalnya pada urbanisasi dan modernisasi, (2) Kontak dan interaksi budaya, misalnya kawin antar suku, agama, ataupun transmigrasi Relativitas yang ada dalam berbagai budaya memberikan reaksi yang berbeda pula terhadap berbagai gejala gangguan jiwa. Ada gejala yang ditoleransi, diperkuat atau disokong, sehingga individu yang memperlihatkan gejala tersebut tampaknya tidak menderita dan tidak dianggap “sakit”. Sebaliknya, bila gejalagejala tersebut dianggap menyimpang dan tidak dapat ditoleransi, individu pembawa gejala tersebut tampak sangat menderita. Ini berarti, individu-individu dengan gangguan jiwa yang mirip bisa diberi fungsi dan peranan yang berbeda dalam berbagai budaya dimana mereka tinggal Kelompok diagnostik ini lebih dikenal dengan sebutan “culture bound syndrome”, yaitu suatu “sindroma sakit jiwa yang diakibatkan karena kondisi lingkungan budaya dimana si penderita tinggal ” dan hanya terbatas pada budaya tertentu serta diberi nama oleh budaya tersebut. Maslim (1987 dalam Arianto 2004:5-8) pemberian nama gangguan jiwa biasanya sesuai dengan budaya mereka masing-masing seperti misalnya:
Ludruk
Ludruk adalah kesenian panggung Jawa Timur, dahulu semua pemainnya adalah pria, termasuk mereka yang memainkan peranan wanita, sebagian tergolong dalam “male transvestite“,“ wedhokan ludruk ” atau dalam bahasa Indonesia berarti wanita ludruk. Jadi, dalam hal ini seorang pria yang memerankan peran wanita baik dalam karakter fisik maupun tingkah laku dengan alasan apapun juga dianggap mempunyai sutau gangguan jiwa yang disebut dengan ludruk. sampai-sampai dalam masyarakat Jawa Timur, seorang pria yang berpenampilan seperti wanita disebut banci.
Contoh penelitian mengenai ludruk adalah dari Prasadio (1972) pada 38 pemain ludruk di Jawa Timur. Sekarang ini kesenian ludruk mengalami perkembangan dengan mengambil wanita asli untuk memerankan tokoh wanita. Pemain ludruk wanita yang terkenal saat ini adalah Kastini dari Surabaya.
Dari pembahasan mengenai kesenian ludruk terkait dengan gangguan jiwa, timbul suatu sebuah lebelling yang kuat dalam masyarakat. Menurut pandangan masyarakat, apabila ada pertunjukkan ludruk pasti akan ada penampilan para banci(para pria yang berdandan dan berlagak seperti wanita/ wedhokan ludruk). Sesungguhnya pendapat tersebut terkesan penuh kontroversi apabila di masukkan dalam kategori gangguan jiwa, alasannya ludruk adalah sebuah pertunjukkan untuk menghibur masyarakat dan dimana para pemainnya dituntut untuk dapat beralih peran entah itu berdandan menjadi perempuan maupun menjadi karakter lain yang berbeda. Hal tersebut tentunya merupakan tuntutan pekerjaan bagi para pemain ludruk, jika mereka tidak melakukan peran tersebut maka mereka tidak akan mendapatkan peran dalam pertunjukkan dan tentunya tidak mendapatkan penghasilan. Alasan kedua adalah orang yang bekerja sebagai pemain ludruk, biasanya terus membawa karakter dari peran yang dimainkannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sehingga timbul suatu kebiasaan untuk bersikap agak menyimpang dari masyarakat pada umumnya.


Keberadaan wedhokan ludruk dalam pembahasan sebelumnya adalah sosok yang termasuk inti dalam pertunjukkan ludruk, karena dalam pertunjukan ludruk, peran wedhokan ludruk berfungsi untuk memberikan kesemarakan dalam pertunjukkan. Misalnya saja dengan candaan mereka yang khas, olah gerak mereka yang seperti perempuan yang cerewet dan ganjen adalah kunci dari keseruan pertunjukkan ludruk. Sehingga terkesan aneh apabila seorang pria melakukan peran semacam itu. Sehingga muncullah berbagai macam standar dalam menentukan seberapa menyimpangnya perilaku dari pengidap sindrome ludruk tersebut. Dari sisi psikologi, keberadaan sindrome ludruk dirasa masih dalam standar aman, selama seseorang yang di duga mengalami sindrome tersebut masih menunjukkan identitas dan perilaku asli yang dimilikinya. Jadi, apabila seseorang yang terkena sindrome ludruk tersebut sudah berubah peran seperti dalam hal cara berpakaian, berkomunikasi dan berinteraksi, maka orang tersebut harus mengalami penanganan lebih lanjut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ludruk belum tentu merupakan sindrome gangguan jiwa, karena itu semua tergantung dari sudut pandang orang yang melihatnya. Karena dari sudut pandang para pemain itu adalah suatu tuntutan pekerjaan, namun dari sudut pandang masyarakat ada yang menganggap tindakan tersebut sebagai sebuah gangguan jiwa. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama dalam memahami keadaan tersebut. Janganlah menilai seseorang hanya dari penampilanya, belum tentu mereka yang kita anggap menyimpang tersebut benar-benar menyimpang. Sewajarnya, keterbukaan masyarakat adalah kunci untuk menghilangkan cap yang sudah melekat tersebut. Sehingga tidak ada lagi saling berprasangka buruk pada setiap orang.

Rujukan :
http://networkedblogs.com/mRVx0 (diakses 12 April 2014, waktu akses pukul 17.34)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar