Tugas Antropologi
Psikologi dan Psikiatri
Ludruk Sebagai
Sindrome
Gangguan Jiwa
Stress Budaya Pencetus Patologi
Awal terbentuknya culture bound syndrome,
stress budaya dapat dialami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat
kebudayaan memberikan tekanan-tekanan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Seperti sebuah kebudayaan yang melalui aturan-aturan serta
sanksi-sanksinya membuat para penganutnya terikat kedalam dan tidak
memungkinkan penganutnya untuk bertindak di luar form baku yang telah
ditetapkan. Dalam menghadapi stress, individu selain mengerahkan pertahanan
psikologis (psychological defenses), juga mengerahkan pertahanan budayanya
(culture defenses) yaitu dalam bentuk “sistem kepercayaan”, dalam upaya
adaptasinya. Misalnya, terbentuknya organisasi dari suku-budaya tertentu di
kotakota besar atau timbulnya kelompok aliran agama dan kepercayaan baru,
merupakan cara budaya untuk menolong individu yang mengalami konflik dan
stress. Adanya kepercayaan dan ritual budaya untuk mengurangi ketegangan
merupakan faktor penting dalam menentukan berapa besarnya stress budaya
tersebut. Jelaslah bahwa berbagai budaya menyokong atau memperkuat berbagai
corak psikopatologi dan menyediakan berbagai peranan untuk mengekspresikannya.
Sumber stress budaya dapat berupa:
- Perubahan budaya yang cepat dan
penyakit kejiwaan kehilangan budaya lama, misalnya pada urbanisasi dan
modernisasi,
- Kontak dan interaksi antar budaya,
misalnya kawin antar suku, agama, ataupun transmigrasi.
A. Jenis-jenis
culture bound syndrome and Psychopathology yang ada di Indonesia
WHO (World Health Organization) menyatakan
bahwa ciri-ciri orang yang sehat dan kurang sehat jiwa di antaranya selalu
diliputi oleh suasana kekhawatiran dan kegelisahan. Kemudian, ia mudah marah
karena hal-hal yang sepele dan menyerang orang lain karena kemarahannya.
Permusuhan, kebencian, sukar memaafkan orang lain merupakan suatu penyakit
kejiwaan. Begitupun ketika tidak mampu menghadapi kenyataan hidup, tidak
realistik, karenanya ia sering lari dari kenyataan dengan cara selalu
menyalahkan orang lain (proyeksi) walaupun sebenarnya sumber kesalahan adalah
dirinya.
Tiga faktor utama yang
menjadi pencetus gangguan jiwa, yaitu: 1. genetik (internal), 2. pola asuh dan
pola didik yang kurang baik (salah) karena anak terlalu dimanja dan dikerasi
(otoriter/diktator), 3. serta lingkungan sebagai stresor seperti yang dikatakan
Hidayat dalam Arianto (2004) Adanya suatu tekanan (pressure) dari lingkungan
hanya bisa diobservasi dari reaksi patologik dari pihak individu yang bersifat
biologis dan psikologis. Jelas bahwa stressnya sendiri tidak menentukan
(non-spesifik), melainkan reaksi terhadap stress tersebut merupakan faktor penentu
bagi timbulnya gangguan jiwa seperti yang ijelaskan oleh Maslim (1987).
Seperti yang telah saya
jelaskan diatas bahwa gangguan jiwa ini dapat berasal dari depresi akibat
lingkungan sosio kultural dimana manusia tersebut tinggal. Sumber dari stress budaya
seperti yang disebutkan Maslim (1987) dapat berupa: (1) perubahan budaya yang
cepat dan kehilangan budaya lama, misalnya pada urbanisasi dan modernisasi, (2)
Kontak dan interaksi budaya, misalnya kawin antar suku, agama, ataupun
transmigrasi Relativitas yang ada dalam berbagai budaya memberikan reaksi yang
berbeda pula terhadap berbagai gejala gangguan jiwa. Ada gejala yang
ditoleransi, diperkuat atau disokong, sehingga individu yang memperlihatkan
gejala tersebut tampaknya tidak menderita dan tidak dianggap “sakit”.
Sebaliknya, bila gejalagejala tersebut dianggap menyimpang dan tidak dapat
ditoleransi, individu pembawa gejala tersebut tampak sangat menderita. Ini
berarti, individu-individu dengan gangguan jiwa yang mirip bisa diberi fungsi
dan peranan yang berbeda dalam berbagai budaya dimana mereka tinggal Kelompok
diagnostik ini lebih dikenal dengan sebutan “culture bound syndrome”, yaitu
suatu “sindroma sakit jiwa yang diakibatkan karena kondisi lingkungan budaya
dimana si penderita tinggal ” dan hanya terbatas pada budaya tertentu serta
diberi nama oleh budaya tersebut. Maslim (1987 dalam Arianto 2004:5-8)
pemberian nama gangguan jiwa biasanya sesuai dengan budaya mereka masing-masing
seperti misalnya:
Ludruk
Ludruk adalah kesenian panggung Jawa Timur,
dahulu semua pemainnya adalah pria, termasuk mereka yang memainkan peranan
wanita, sebagian tergolong dalam “male transvestite“,“ wedhokan ludruk ”
atau dalam bahasa Indonesia berarti wanita ludruk. Jadi, dalam hal ini seorang
pria yang memerankan peran wanita baik dalam karakter fisik maupun tingkah laku
dengan alasan apapun juga dianggap mempunyai sutau gangguan jiwa yang disebut
dengan ludruk. sampai-sampai dalam masyarakat Jawa Timur, seorang pria yang
berpenampilan seperti wanita disebut banci.
Contoh penelitian mengenai ludruk adalah
dari Prasadio (1972) pada 38 pemain ludruk di Jawa Timur. Sekarang ini kesenian
ludruk mengalami perkembangan dengan mengambil wanita asli untuk memerankan
tokoh wanita. Pemain ludruk wanita yang terkenal saat ini adalah Kastini dari
Surabaya.
Dari
pembahasan mengenai kesenian ludruk terkait dengan gangguan jiwa, timbul suatu
sebuah lebelling yang kuat dalam masyarakat. Menurut pandangan masyarakat,
apabila ada pertunjukkan ludruk pasti akan ada penampilan para banci(para pria
yang berdandan dan berlagak seperti wanita/ wedhokan ludruk). Sesungguhnya
pendapat tersebut terkesan penuh kontroversi apabila di masukkan dalam kategori
gangguan jiwa, alasannya ludruk adalah sebuah pertunjukkan untuk menghibur
masyarakat dan dimana para pemainnya dituntut untuk dapat beralih peran entah
itu berdandan menjadi perempuan maupun menjadi karakter lain yang berbeda. Hal
tersebut tentunya merupakan tuntutan pekerjaan bagi para pemain ludruk, jika
mereka tidak melakukan peran tersebut maka mereka tidak akan mendapatkan peran
dalam pertunjukkan dan tentunya tidak mendapatkan penghasilan. Alasan kedua
adalah orang yang bekerja sebagai pemain ludruk, biasanya terus membawa
karakter dari peran yang dimainkannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga timbul suatu kebiasaan untuk bersikap agak menyimpang dari masyarakat
pada umumnya.
Keberadaan
wedhokan ludruk dalam pembahasan sebelumnya adalah sosok yang termasuk inti
dalam pertunjukkan ludruk, karena dalam pertunjukan ludruk, peran wedhokan
ludruk berfungsi untuk memberikan kesemarakan dalam pertunjukkan. Misalnya saja
dengan candaan mereka yang khas, olah gerak mereka yang seperti perempuan yang
cerewet dan ganjen adalah kunci dari keseruan pertunjukkan ludruk. Sehingga
terkesan aneh apabila seorang pria melakukan peran semacam itu. Sehingga
muncullah berbagai macam standar dalam menentukan seberapa menyimpangnya
perilaku dari pengidap sindrome ludruk tersebut. Dari sisi psikologi,
keberadaan sindrome ludruk dirasa masih dalam standar aman, selama seseorang
yang di duga mengalami sindrome tersebut masih menunjukkan identitas dan
perilaku asli yang dimilikinya. Jadi, apabila seseorang yang terkena sindrome
ludruk tersebut sudah berubah peran seperti dalam hal cara berpakaian,
berkomunikasi dan berinteraksi, maka orang tersebut harus mengalami penanganan
lebih lanjut.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa ludruk belum tentu merupakan sindrome gangguan jiwa,
karena itu semua tergantung dari sudut pandang orang yang melihatnya. Karena
dari sudut pandang para pemain itu adalah suatu tuntutan pekerjaan, namun dari
sudut pandang masyarakat ada yang menganggap tindakan tersebut sebagai sebuah
gangguan jiwa. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama dalam memahami
keadaan tersebut. Janganlah menilai seseorang hanya dari penampilanya, belum
tentu mereka yang kita anggap menyimpang tersebut benar-benar menyimpang.
Sewajarnya, keterbukaan masyarakat adalah kunci untuk menghilangkan cap yang sudah
melekat tersebut. Sehingga tidak ada lagi saling berprasangka buruk pada setiap
orang.
Rujukan :
http://networkedblogs.com/mRVx0
(diakses 12 April 2014, waktu akses pukul 17.34)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar